DIPTEROKARPA SI BIDADARI TERLUPAKAN

Hutan alam Indonesia yang terhampar luas dari Sabang sampai Meroke adalah hutan alam yang didominasi oleh jenis Dipterokarpa. Dipterocarpaceae merupakan suku penghsil kayu komersial di Indonesia, Terdapat 10 marga yang tersebar dari Sumatera sampai Papua yaitu Shorea, Hopea, Dryobalanops, Vatica, Cotylelobium, Anisptera, Dipterocarpus, Parashorea, dan Upuna. Kayu perdangangan utama adalah dari jenis meranti dan balau/Shorea, mersawa/Anisoptera, keruing/Dipterocarpus dan kapur/Dryobalanops. Batangnya silinder berukuran besar dengan tinggi bebas cabang mencapai 30 m atau lebih dan semua jenis Dipterocarpaceae menghasilkan damar atau oleoresin yang cukup mahal pada waktu itu.

Peranan dipterokarpa pada ekologi hutan sangatlah besar, mulai dari bijinya yang menjadi sumber makanan binatang, tajuk yang tinggi menjadi sarang dan tempai tinggal beberapa jenis burung besar dan mamalia. Tidak dapat dibayangkan betapa besar fungsi adanya jenis pohon ini di hutan Indonesia karena ekonomi Indonesia pun maju melesat karena adalanya jenis pohon ini. Itu artinya kecantikan, keelokan, dan keindahan hutan alam Indonesi terlatak pada suatu jenis kayu yang bagaikan emas yaitu Dipterocarpaceae.

Dahulu ketika Jepang menjajah Indonesia diperlihatkan beberapa potongan kecil kayu jenis meranti, keruing dan kamper, Jepang menanyakan pada suku dayak di Kalimantan mengenai jenis apa katu yang di perlihatkan dan suku dayakpun menjawab tu adalah meranti, jeruing dan kamper. Namun, tentara Jepang menjawab “ini bukan kayu tetapi emas” dan Jepang pun membabat habis hutan meranti saat itu. Setelah Indonesia merdeka jenis kayu dipterokarpa menjadi sumber penghasil devisa kedua setelah migas, industri kehutananpun menjamur tanpa ada yang bisa membendung. Diawali dari ekspor kayu log yang tinggi kemudian kayu lapis dan produk hasil hutan non kayu yang dihasilkan dari dipterrocarpaceae telah berhasil memajukan kehidupan ekonomi Indonesia.

Eksploitasi yang berlebihan beberapa dasawarsa yang lalu membuat struktur dan komposisi di hutan alam menurun dengan drastis, termasuk jenis komersial Dipterokarpa yang saat ini kondisinya sangat memperhatinkan. Seiring dengan keadaan tersebut maka banyak industri kehutannan yang gulung tikar karena kelangkaan bahan baku untuk kayu lapis berupa kayu Dipterocarpa. Melihat kelangkaan tersebut pemerintah membuat program Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menitik beratkan pada biomassa, artinya dalam HTI yang diutamakan adalah Volume dan kecapatan tumbuh yang singkat (fast growing species) yang 5-8 tahun sudah bisa dipanen. Sayangnya, jenis tumbuhan yang cepat tumbuh ini bukanlah golongan dipterocarpa, melainkan jenis pohon perintis dan intoleran terhadap cahaya salah satunya adalah sengon, akasia dan jabon yang sangat jauh berbeda dengan dipterokarpa.

Dampak negatif dari meluasnya pembangunan HTI adalah berkurangnya tempat tumbuh bagi jenis dipterokarpa karena sebagian besar HTI dibangun di hutan alam dipterocarpa yang subur. Maka ketika hutan alam indonesia di dominasi oleh jenis fast growing species saja hutan itu hanyalah berupa kebun kayu yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem hutan. Takan ada lagi tempat tinggal bagi burung besar yang membutuhkan pohon tinggi untuk hinggap atau berlindung karena tinggi dari pohon fast growing species maksimal kurang lebih hanya 30 m berbeda dengan jenis Dipterokarpa yang dapat mencapai 50 m lebih. Takan ada lagi mamalia yang dapat bergelantungan di antara dahan pohon, mungkin karena kekuatan jenis fast growing species yang sangat rendah. Tak terbayangkan ketika hutan alam Indonesia hanya menjadi kebun kayu untuk kepentingan industi yang serakah.

Perlu adanya pencegahan keadaan tersebut yakni dengan pemulyaan jenis dipterokarpa dan penguasaan tehnik silvikultur, karena jenis pohon ini tidah berbuah sepanjang tahun bahkan ada yang 5-6 tahun sekali menjadikan metode yang banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman jenis ini menggukan metode vegetatif yaitu kultur jaringan, stek pucuk atau stek batang. Hal ini sangat lah riskan, karena metode perbanyakan ytanaman secara vegetatif dapat mengurangi keanekaragaman genetik di tegakan hutan yang akan dibentuk, ketika keaneka ragamannya kecil maka ekosistem itu mudah terganggu dengan serangan hama dan penyakit.