Category: kehutanan


seminar jabon

Bogor, 30 September – 2 Oktober 2011
Kerjasama
TREE GROWER COMMUNITY dan DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN IPB
didukung oleh SEAMEO BIOTROP

Pendahuluan
Kerusakan hutan dan berkurangnya kawasan hutan telah membuat hutan tropis kehilangan sebagian besar kemampuannya dalam menyuplai kebutuhan kayu global. Disisi lain kebutuhan kayu untuk pasar global semakin meningkat, sehingga prospek investasi bagi pemenuhan kebutuhan kayu cukup cerah.

Jabon (Antocephalus cadamba) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kayu rimba lainnya. Selain daya tumbuhnya yang sangat cepat, tingkat kelurusannya juga tinggi, berbatang silinder dan cabang yang ada pada masa pertumbuhan akan rontok sendiri ketika pohon meninggi.Sifat ini menguntungkan karena tidak memerlukan pemangkasan. Kayunya berwarna putih agak kekuningan tanpa terlihat serat sangat baik dipergunakan untuk pembuatan kayu lapis (playwood), mebeler, bahan bangunan non kontruksi, maupun kayu gergajian. Dengan demikian budidaya tanaman jabon akan memberikan keuntungan yang cukup besar jika dilakukan secara serius dan benar. Setiap batang pohon jabon yang sehat akan menghasilkan kayu sebanyak 1,5 m3, Dengan harga per-m3 saat ini Rp 1.000.000,-, maka nilai jual jabon usia 5-6 tahun minimal seharga Rp 1.500.000,-/batang. Disamping itu jabon juga potensial sebagai alternatif jenis bagi rehabilitasi dan reklamasi lahan rusak dan terdegradasi termasuk reklamasi lahan bekas tambang.

Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal  : Jumat, 30 September 2011 (Seminar)
Sabtu-Minggu 1-2 Okt. 2011 (Pelatihan)

Waktu : 08.00 – 17.00 WIB
Tempat :    SEAMEO BIOTROP
Jl. Raya Tajur, Km 6 Bogor Jawa Barat;

Biaya     : 
Rp.    800.000,- (Seminar)
Rp. 1.000.000,- (Pelatihan)
Rp. 1.600.000,- (Paket)
Fasilitas : Snack, makan siang, seminar kit, sertifikat, modul pelatihan, fieldtrip

Materi Seminar :

  1. Hutan rakyat sebagai penggerak ekonomi mikro masyarakat, Keynote speaker : Menteri Kehutanan
  2. Kebijakan hutan rakyat dan tata niaga hasil hutan rakyat, Kementerian Kehutanan
  3. Jabon sebagai jenis pionir unggul, Dr. Irdika Mansur
  4. Kualitas dan keunggulan kayu jabon, Dr. Naresworo Nugroho
  5. Peluang bisnis pengusahaan jabon, pengusaha jabon sukses
  6. Jabon sebagai bahan baku industri, perusahaan pemanfaat kayu jabon

Materi Pelatihan :

1.     Pengenalan jabon dan jenis komersial lainnya untuk hutan rakyat
2.     Teknik pembibitan dan persemaian jabon
3.     Persiapan lahan dan teknik penanaman jabon
4.     Pengendalian hama dan penyakit jabon
5.     Penyusunan rencana investasi jabon
6.    Fieldtrip ke tegakan jabon

Informasi lanjut dan pendaftaran :
Business Development TGC
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB
Jl. Lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
Telp.     :  0251 – 8626806
Fax     :  0251 – 8626886
Attn.     :
Dr. Erianto Indra Putra, M.Si. (Komisi Kerjasama dan PPM)
Lody Junio (Ketua Panitia)

e-mail     :  seminasjabon@gmail.com

Formulir pendaftaran
Seminar Nasional dan Pelatihan
Budidaya Jabon :Kupas Tuntas Bisnis Jabon
Nama     :
Instansi     :
Alamat     :

No. Telp/HP     :
e-mail    :

Menyatakan ikut serta dalam Seminar Nasional dan Pelatihan Budidaya Jabon : Kupas Tuntas Bisnis Jabon

Pembayaran akan :
Ditransfer ke rekening panitia :
Bank BNI Cab. Dramaga Bogor
No Rek. 0003894380
A/N. Dekan Fakultas Kehutanan IPB

…………, …………………

(TTd)

Formulir pendaftaran dan salinan bukti transfer yang telah diisi harap difax ke sekretariat panitia di 0251 – 8626886.

dipterokarpa

DIPTEROKARPA SI BIDADARI TERLUPAKAN

Hutan alam Indonesia yang terhampar luas dari Sabang sampai Meroke adalah hutan alam yang didominasi oleh jenis Dipterokarpa. Dipterocarpaceae merupakan suku penghsil kayu komersial di Indonesia, Terdapat 10 marga yang tersebar dari Sumatera sampai Papua yaitu Shorea, Hopea, Dryobalanops, Vatica, Cotylelobium, Anisptera, Dipterocarpus, Parashorea, dan Upuna. Kayu perdangangan utama adalah dari jenis meranti dan balau/Shorea, mersawa/Anisoptera, keruing/Dipterocarpus dan kapur/Dryobalanops. Batangnya silinder berukuran besar dengan tinggi bebas cabang mencapai 30 m atau lebih dan semua jenis Dipterocarpaceae menghasilkan damar atau oleoresin yang cukup mahal pada waktu itu.

Peranan dipterokarpa pada ekologi hutan sangatlah besar, mulai dari bijinya yang menjadi sumber makanan binatang, tajuk yang tinggi menjadi sarang dan tempai tinggal beberapa jenis burung besar dan mamalia. Tidak dapat dibayangkan betapa besar fungsi adanya jenis pohon ini di hutan Indonesia karena ekonomi Indonesia pun maju melesat karena adalanya jenis pohon ini. Itu artinya kecantikan, keelokan, dan keindahan hutan alam Indonesi terlatak pada suatu jenis kayu yang bagaikan emas yaitu Dipterocarpaceae.

Dahulu ketika Jepang menjajah Indonesia diperlihatkan beberapa potongan kecil kayu jenis meranti, keruing dan kamper, Jepang menanyakan pada suku dayak di Kalimantan mengenai jenis apa katu yang di perlihatkan dan suku dayakpun menjawab tu adalah meranti, jeruing dan kamper. Namun, tentara Jepang menjawab “ini bukan kayu tetapi emas” dan Jepang pun membabat habis hutan meranti saat itu. Setelah Indonesia merdeka jenis kayu dipterokarpa menjadi sumber penghasil devisa kedua setelah migas, industri kehutananpun menjamur tanpa ada yang bisa membendung. Diawali dari ekspor kayu log yang tinggi kemudian kayu lapis dan produk hasil hutan non kayu yang dihasilkan dari dipterrocarpaceae telah berhasil memajukan kehidupan ekonomi Indonesia.

Eksploitasi yang berlebihan beberapa dasawarsa yang lalu membuat struktur dan komposisi di hutan alam menurun dengan drastis, termasuk jenis komersial Dipterokarpa yang saat ini kondisinya sangat memperhatinkan. Seiring dengan keadaan tersebut maka banyak industri kehutannan yang gulung tikar karena kelangkaan bahan baku untuk kayu lapis berupa kayu Dipterocarpa. Melihat kelangkaan tersebut pemerintah membuat program Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menitik beratkan pada biomassa, artinya dalam HTI yang diutamakan adalah Volume dan kecapatan tumbuh yang singkat (fast growing species) yang 5-8 tahun sudah bisa dipanen. Sayangnya, jenis tumbuhan yang cepat tumbuh ini bukanlah golongan dipterocarpa, melainkan jenis pohon perintis dan intoleran terhadap cahaya salah satunya adalah sengon, akasia dan jabon yang sangat jauh berbeda dengan dipterokarpa.

Dampak negatif dari meluasnya pembangunan HTI adalah berkurangnya tempat tumbuh bagi jenis dipterokarpa karena sebagian besar HTI dibangun di hutan alam dipterocarpa yang subur. Maka ketika hutan alam indonesia di dominasi oleh jenis fast growing species saja hutan itu hanyalah berupa kebun kayu yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem hutan. Takan ada lagi tempat tinggal bagi burung besar yang membutuhkan pohon tinggi untuk hinggap atau berlindung karena tinggi dari pohon fast growing species maksimal kurang lebih hanya 30 m berbeda dengan jenis Dipterokarpa yang dapat mencapai 50 m lebih. Takan ada lagi mamalia yang dapat bergelantungan di antara dahan pohon, mungkin karena kekuatan jenis fast growing species yang sangat rendah. Tak terbayangkan ketika hutan alam Indonesia hanya menjadi kebun kayu untuk kepentingan industi yang serakah.

Perlu adanya pencegahan keadaan tersebut yakni dengan pemulyaan jenis dipterokarpa dan penguasaan tehnik silvikultur, karena jenis pohon ini tidah berbuah sepanjang tahun bahkan ada yang 5-6 tahun sekali menjadikan metode yang banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman jenis ini menggukan metode vegetatif yaitu kultur jaringan, stek pucuk atau stek batang. Hal ini sangat lah riskan, karena metode perbanyakan ytanaman secara vegetatif dapat mengurangi keanekaragaman genetik di tegakan hutan yang akan dibentuk, ketika keaneka ragamannya kecil maka ekosistem itu mudah terganggu dengan serangan hama dan penyakit.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pengujian benih merupakan analisis beberapa parameter fisik dan kualitas fisiologis sekumpulan benih yang biasanya didasarkan pada perwakilan sejumlah contoh benih. Pengujian dilakukan untuk mengetahui mutu kualitas kelompok benih. Pengujian benih merupakan metode untuk menentukan nilai pertanaman di lapangan. Salah satu contoh pengujian benih adalah uji viabilitas benih atau uji perkecambahan benih. Uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalkan dengan mengukur gejala-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan membandingkan unsur-unsur tumbuh tertentu.

Pada uji viabilitas benih, baik uji daya kecambah atau uji kekuatan tumbuh benih, penilaian dilakukan dengan membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam satu substrat. Sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan presentase perkecambahan. Persentase kecambah yang tinggi sangat diinginkan oleh para petugas persemaian, dan segala sesuatu selain benih murni yang berkecambah akan dianggap sebagai hal yang tidak berguna, oleh karena itu pegujian kecambah atau viabilitas harus menggambarkan kecambah yang potensial. Potensi perkecambahan merupakan hal yang secara langsung didapatkan pada pengujian perkecambahan. Pengujian perkecambahan secara luas digunakan, baik untuk pengujian benih standard maupun untuk pengujian informal secara sederhana di persemaian.

Pengujian viabilitas ada beberapa macam yaitu pengujian pemotongan (cutting test), tetrazolium (TZ), pemotongan embrio, dan pengujian hydrogen peroksida (H2O2). Pengujian viabilitas benih biasanya kurang tepat diterapkan untuk benih-benih yang berukuran sangat  kecil, bahkan teknik pengambilan/pemotongan embrio hampir tidak mungkin dilakukan. Untuk memudahkan dalam pengujian benih, benih yang digunakan harus berukuran agak besar seperti sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.) yang digunakan dalam praktikum ini.

Pengujian benih dengan tetrazolium merupakan salah satu uji yang efektif. Uji tetrazolium memanfaatkan prinsip dehidrogenase yang merupakan group enzim metabolism pada sel hidup, yang mana mudah diamati perubahan warnanya. Selain uji TZ, uji hydrogen peroksida (H2O2) juga merupakan uji yang efektif. uji ini merupakan uji viabilitas yang lain, yang membentuk transisi menjadi pengujian kecambah.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah :

1)      Membandingkan hasil pengujian viabilitas benih dengan tetrazolium (TZ) yang di larutkan dalam air dan larutan penyangga.

2)      Membandingkan uji hydrogen peroksida (H2O2) dan control pada benih sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.).


BAB II

METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu

Praktikum Pengujian Viabilitas Benih ini dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB pada hari Senin tanggal 21 Maret 2011.

2.2 Alat dan Bahan

1.      Air

2.      Larutan buffer

3.      Tetrazolium (TZ)

4.      Hydrogen peroksida (H2O2)

5.      Benih sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.) sebanyak 18 biji

6.      Kantung plastik hitam

7.      Gelas aqua

8.      Tabung reaksi

2.3 Medote Praktikum

Praktikum ini terdiri dari dua tahap yaitu uji tetrazolium dan uji hydrogen peroksida (H2O2). Langkah awalnya melakukan pengujian benih dengan tetrazolium. Praktikan menyiapkan benih sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.) sebanyak 8 biji yang telah dilakukan perlakuan pendahuluan, yaitu perendaman dengan air panas selama 5 menit dan air dingin selama 24 jam. Langkah berikutnya adalah membagi benih sengon buto menjadi dua bagian, 4 benih dipotong dan 4 benih tidak dipotong. Kemudian 8 benih  tersebut dimasukkan ke dalam TZ air murni begitu juga dilakukan perlakuan yang sama pada TZ buffer selama 2, 3, 6, dan 12 jam. Setelah itu benih dibilas dengan air bersih, kemudian mengamati embrio yang berwarna merah dan tidak berwarna dengan cara membelah benih.

Tahap yang terakhir adalah menguji benih dengan hydrogen peroksida (H2O2). Dengan tahapan yang pertama adalah menyiapkan benih sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq.) sebanyak 10 biji. Selanjutnya melakukan perlakuan pendahuluan untuk mematahkan dormansi benih yaitu dengan perendaman dengan air panas selama 5 menit dan air dingin selama 24 jam. Langkah selanjutnya benih sengon buto direndam ke dalam larutan H202 selama 12 jam. Setelah itu benih sengon buto disimpan dalam kertas merang selama 3 hari dan bilas dengan air bersih, setelah tiga hari kemudian mengamati perkecambahan benih sengon buto tersebut dan menghitung prosentasenya dengan persamaan sebagai berikut :

% kecambah = benih yang berkecambah x 100%

total benih

 

 

3.2 Pembahasan

Prinsip metode TZ (Uji Tetrazolium) adalah bahwa setiap selhidup akan berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan membentuk endapan formazan merah, sedangkan sel-sel mati akan berwarna putih. Enzim yang mendorong terjadinya proses ini adalah dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi (Byrd, 1988).

Kelebihan metode TZ meliputi waktu pengujian yang singkat, sangat tepat diaplikasikan pada benih yang mengalami dormansi serta benih yang mengalami pemasakan lanjutan (after ripening), tingkat ketelitian tinggi, sedangkan kelemahannya memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif, bersifat laboratoris, tidak dapat mendeteksi kerusakan akibat fungi atau mikroba lainnya dan bersifat merusak. Metode TZ merupakan metode yang paling sesuai pada hampir semua jenis.

Praktikum dengan menggunakan metode TZ kali ini dilakukan oleh tujuh kelompok menggunakan benih sengon buto. TZ yang dipakai ada dua jenis yaitu TZ dengan pelarut air (kelompok 1-3) dan TZ dengan  pelarut buffer (kelompok 4-7). Perlakuan terhadap benih yaitu benih tidak dibelah dan benih yang dibelah bagian radikulanya. Hasil dari perendaman benih sengon yang dibelah dengan TZ pelarut air yakni rata-rata benih dari seluruh kelompok berwarna merah berjumlah 4 dari 8 benih dan bagian yang berwarna sebanyak 50-60%. Sedangkan untuk benih yang tidak dibelah benih kelompok 1 dan 2 tidak berwarna dan kelompok 3 benih yang berwarna bejumlah 3 dengan 30% bagian yang berwarna merah.Rata-rata benih sengon buto dibelah yang direndam dengan TZ pelarut buffer menghasilkan warna merah sebanyak 4 benih dan bagian yang terwarnai sebanyak 40% sedangkan benih yang tidak dibelah hanya 2 kelompok yang berwarna merah muda (20-30% bagian) dan benih dari 2 kelompok tidak berubah warna.

Hal tersebut menunjukan bahwa sebagian besar benih sengon buto yang diujidengan TZ pelarut air memiliki viabilitas yang sedang karena warna bagian yang terwarnai paling banyak hanya 50%. Sedangkan untuk benih sengon buto pada TZ pelarut air dengan perlakuan dibelah memiliki viabilitas yang rendah karena hanya beberapa benih yang berubah warna serta bagian yang berwarna hanya 20-30%. Benih-benih yang  memiliki viabilitas rendah mungkin saja sudah terserang penyakit sehingga bila ditanam akan sulit untuk berkecambah.

Metode pengujian hidrogen peroksida (Hydrogen peroxide test) merupakan satu-satunya uji cepat yang dapat merangsang perkecambahan untuk tumbuh lebih cepat (Leadem, 1984). Hidrogen peroksida biasa pula digunakan untuk pematahan dormansi. Kelebihan metode hidrogen peroksida meliputi alat/bahan tidak mahal, bersifat objektif dan sederhana dalam penyiapannya, sedangkan kekurangannya tidak praktis pada benih berukuran kecil, waktu uji relatif lama (4 – 8 hari) dan bersifat merusak.

Pengujian viabilitas benih dengan metode hidrogen peroksida kali ini juga dilakukan oleh tujuh kelompok dengan perlakuan waktu perendaman yang berbeda serta terdapat benih sebagai kontrol. Perendaman benih dalam H2O2 selama 2 jam menghasil 3 benih berkecambah. Perendaman benih selama 3 jam tidak menghasilkan benih yang berkecambah. Perendaman benih selama 6 jam menghasilkan 1 benih berkecambah. Perendaman benih selama 8 jam menghasilkan 4 benih berkecambah. Sedangkan untuk benih sebagai kontrol sebagai besar belum berkecambah, hanya 1 kelompok yang seluruh benihnya berkecambah. Hal tersebut menunjukan bahwa perendaman beih dalam H2O2 dapat mempercepat perkecambahan benih karena dalam waktu 3 hari benih yang berkecambah sudah banyak. Akan tetapi semakin lama benih direndam benih maka benih tidak berkecambah hal ini dapat terjadi karena benih rusak terkena zat kimia. Benih sebagai kontrol yang berkecambah dapat terjadi karena benih dalam kondisi yang baik serta terdapat cukup air dalam kertas merang.

SIMPULAN

Berdasarkan praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa benih sengon buto yang direndam dalam TZ pelarut air merupakan benih yang memiliki viabilitas sedang karena perubahan warna hanya terjadi pada separuh bagian benih. Sedangkan benih yang direndam dalam TZ pelarut buffer memiliki viabilitas rendah karena hanya sedikit bagian benih yang berubah warna serta banyak benih yang tidak berubah warna.

Pengujian benih dengan metode perendaman pada hidrogen peroksida menunujukan bahwa H2O2 dapat mempercepat perkecambahan benih jika direndam dalam jangka waktu yang tepat sedangkan jika direndam terlalu lama akan mengakibatkan kerusakan pada benih sehingga benih tidak dapat berkecambah.

DAFTAR PUSTAKA

[AOSA] Association of Seed Analyst. 2001. Tetrazolium Testing Handbook. Halaman : 17-18. www.ucs.iastate.edu [26 Maret 2011].

Byrd, H.W. 1988. Pedoman Teknologi Benih (Terjemahan). State College. Mississipi.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Nasional. 2006. Manual Pengujian Benih Tanaman Hutan. Sumedang :  Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura.

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta : Bumi Aksara

Leadem, C.L. 1984. Quick Test for Tree Seed Viability. Management Report NO 18. B.C.Ministry Forest Land Research Branch.

Nugroho, A.A. 1998. Pendugaan Kualitas Benih Acacia mangium willd dan Ochroma bicolor Berdasarkan Uji Daya Hantar Listrik. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi.

Schmidt, Lars. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Na’iem M, penerjemah; Harum F, editor. Jakarta: Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan. Terjemahan dari : Guide to Handling Tropical and Subtropical Forest Seed.

 

Transpirasi

A.  transppirasi Pengertian

Transpirasi merupakan proses keluarnya uap air dari dalam tanaman melalui stomata atau lubang lan seperti lenti sel.

B.     Mekanisme

Air diserap ke dalam akar secara osmosis melalui rambut akar, sebagian besar bergerak menurut gradien potensial air melalui xilem. Air dalam pembuluh xilem mengalami tekanan besar karena molekul air polar menyatu dalam kolom berlanjut akibat dari penguapan yang berlangsung di bagian atas. Sebagian besar ion bergerak melalui simplas dari epidermis akar ke xilem, dan kemudian ke atas melalui arus transportasi.

Laju transpirasi dipengaruhi oleh ukuran tumbuhan, kadar CO2, cahaya, suhu, aliran udara, kelembaban, dan tersedianya air tanah. Faktor-faktor ini mempengaruhi perilaku stoma yang membuka dan menutupnya dikontrol oleh perubahan tekanan turgor sel penjaga yang berkorelasi dengan kadar ion kalium (K+) di dalamnya. Selama stoma terbuka, terjadi pertukaran gas antara daun dengan atmosfer dan air akan hilang ke dalam atmosfer. Untuk mengukur laju transpirasi tersebut dapat digunakan potometer.

Transpirasi pada tumbuhan yang sehat sekalipun tidak dapat dihindarkan dan jika berlebihan akan sangat merugikan karena tumbuhan akan menjadi layu bahkan mati.

Sebagian besar transpirasi berlangsung melalui stomata sedang melalui kutikula daun dalam jumlah yang lebih sedikit. Transpirasi terjadi pada saat tumbuhan membuka stomatanya untuk mengambil karbon dioksida dari udara untuk berfotosintesis.

Lebih dari 20 % air yang diambil oleh akar dikeluarkan ke udara sebagai uap air. Sebagian besar uap air yang ditranspirasi oleh tumbuhan tingkat tinggi berasal dari daun selain dari batang, bunga dan buah.

Transpirasi menimbulkan arus transpirasi yaitu translokasi air dan ion organik terlarut dari akar ke daun melalui xilem.

C.     Faktor-faktor yang mempengaruhi Transpirasi
Kegiatan transpirasi terpengruh oleh banyak faktor baik faktor-faktor dalam maupun faktor-faktor luar,
1. Yang terhitung sebagai faktor-faktor dalam adalah:
• Besar kecilnya daun
• Tebal tipisnya daun
• Berlapiskan lilin atau tidaknya permukaan daun
• Banyak sedikitnya bulu di permukaan daun
• Banyak sedikitnya stomata
• Bentuk dan lokasi stomata
Hal-hal ini semua mempengaruhi kegiatan transpirasi

a. Bentuk serta distribusi stomata
Lubang stomata yang tidak bundar melainkan oval itu ada sangkut paut dengan intensitas pengeluaran air. Juga yang letaknya satu sama lain di perantaian oleh suatu juga jarak yang tertentu itu pun mempengaruhi intensitas penguapan. Jika lubang-lubang itu terlalu berdekatan maka penguapan dari lubang yang satu malah menghambat penguapan dari lubang yang berdekatan.

b. membuka dan menutupnya stomata
mekanisme mebuka dan menutupnya stomata berdasarkan suatu perubahan turgor itu adalah akibat dari perubahan nilai osmosis dari isi sel-sel penutup.

c. banyaknya stomata
pada tanaman darat umumnya stomata itu kedapatan pada permukaan daun bagian bawah. Pada beberapa tanaman permukaan atas dari daun pun mempunyai stomata juga. Temperatur berpengaruh pada membuka dan menutupnya stomata. Pada banyak tanaman stoma tidak berserdia membuka jika temperatur ada disekitar 0 derajat celcius

2. Faktor-faktor luar yang mempengaruhi transpirasi
• Sinar matahari
Sinar menyebabkan membukanya stoma dan gelap menyebabkan menutupnya stoma jadi banyak sinar mempercepat transpirasi
• Temperatur
Pengaruh temperatur terhadap transpirasi daun dapat pula ditinjau dari sudut lain yaitu didalam hubungannya dengan tekanan uap air didalam daun dan tekanan uap air diluar daun, kenaikan temperatur menambah tekanan uap didalam daun.
• Kelembaban udara
• Angin
• Keadaan air didalam tanah

Walaupun beberapa jenis tumbuhan dapat hidup tanpa melakukan transpirasi, tetapi jika transpirasi berlangsung pada tumbuhan agaknya dapat memberikan beberapa keuntungan bagi tumbuhan tersebut misalnya dalam:
• Mempercepat laju pengangkutan unsur hara melalui pembuluh xylem
• Menjaga turgiditas sel tumbuhan agar tetap pada kondisi optimal
• Sebagian salah satu cara untuk menjaga stabilitas suhu.

D.    Hubungan dengan lus daun

Semakin lebar daun maka jumlah sto,ata semakin banyk sehingga traspirasi semakin besar

E.     Hubungan traspirasi dengan pertumbuhan dan kematian tanaman

Pengaruh traspirasi

•      Pengangkutan air ke daun dan difusi air antar sel

•      Penyerapan dan pengangkutan air, hara

•      Pengangkutan asimilat

•      Membuang kelebihan air

•      Pengaturan bukaan stomata

•      Mempertahankan suhu daun

Dengan danya transpirasi maka air dari kapiker dari dalam tanah mengalir ke atas sampai ke daun hanya sedikit saja yang di gunakan sebagai pertumbuhan sisanya dalam jumlah yang sangat besar di uapkan melalui traspirasi, walaupun begitu transpirasi sangat penting bagi tumbuhan dengan catatan jika kadar air kapiler tanagn mencukupi.

Hara yang terdapat dalam tanah masuk ke dalam dan antar sel akibat berikatan atau terbawa oleh air karena transpirasi, air yang di fhotolisis berperan dalam fhoto sintesi sehingga tumbuhan dapat tumbuh.

Dampak negative traspirasi

•         Transpirasi dapat membahayakan tanaman jika lengas tanah terbatas, penyerapan air tidak mampu mengimbangi laju transpirasi, Ψw sel turun, Ψp menurun, tanaman layu, layu permanent, mati, hasil tanaman menurun

•         Sering terjadi di daerah kering, perlu irigasi, meningkatkan lengas tanah, pada kisaran layu tetap – kapasitas lapangan

Ketika air kapiler dalam tanah tidak mencukupi (air kapiler lebih kecil dari transpirasi) taganagan turgor tanaman turun dan akibatnya tanaman akan layu, jika hal ini terus berlanjut sampai titik latu permanen maka tanaman dapat mengalami kematian

Mangrove

Pengertian
Terdapat dua pengertian mendasar mengenai kata MANGROVE. Di daerah Eropa seperti Spanyol, Portugis, Itali dll, Mangrove diartikan sebagai jenis pohon yang terdapat di daerh pasang surut, sedangkan kosistemnya disebut Mangal. Di daerah Asia Fasifik pengertian mangrove ada dua yakni ekosistem mangrove dan jenis mangrove(tergantung konteks pembicaraan).
mangrove
Komunitas manggrove adalah komunitas tumbukan yang berada pada daerah pasang surut (intertidal) yang tergenng ketika pasang naik dan surut ketika pasang rendah.
Ekosistem mangrove merupakan hubungan antara komunitas mangrove dengan lingkungannya. lingkungan dapat berupa tanah, air, suhu dan salinitas ir.
Terdapat kata lain untuk menyebutkan hutan mangrove yakni: Tidal Fors(Ing), Coastal woodland(ing), Vloedbosschen(belanda), hutan payau(ind), mangal(ind), dan hutan bakau (arti yang salah namun popular di masyarakat)
Fungsi
Terdapat 3 fungsi utama dari mangrove yakni fungsi lindung, fungsi biologi, dan fungsi ekonomi yang berpengaruh terhadap ekosistm laut dn ekosistem darat.
 Fungsi lindung
Mangrove berfungsi mencegah terjadinya abrsi daratan oleh ombak, hal ini karana akar mangrove dapat menahan gaya yang ditimbulkan oleh ombak. Ada fakta menyebutkan bahwa dengan adanya mangrove dapat mencega kerusakan yang parah karena gelombang Tsunami di suatu pulau di dekat Sumatra, ini karena manggrof menahan gelombang air yang masuk ke daratn. Manggrove juga dapat menahan terjdinya intrusi air laut ke daratan meluas, jika intrusi air laut meluas ke daratan maka akan menimbulkan kerusakan bagi biota tanah dan dapat mencemari sumur warga.
 Fungsi biologi
1. Tempat trasit burung migrant
2. Tempat pemijahan
3. Tempat perlindungan bagi ikan kecil dn biota laut (Nursery)
4. Tempat mencari makan
Fungsi biologi
 Fungsi ekonomi
1. Bakau merupakan bahan kayu bakar dan arang yang no satu kualitasnya, karena kandungan karbon yang tinggi
2. Tambak udang
3. Pemancingan ikan

Construction, fuel and chemicals Ecological services (continued)
Timber (poles) Trap for particulate matter
Firewood Provision of nursery, breeding, feeding and roosting
Tannins Sites
Human Food Storage and recycling of organic matter, nutrients and
Fish Pollutants
Crustaceans Export of organic matter and nutrients
Mollusks Biological regulation of ecosystem processes and
Honey Functions
Other fauna Production of oxygen
Ecological services Sink for carbon dioxide
Protection against floods and Water catchment and groundwater recharge
Hurricanes Topsoil formation
Control of shoreline and riverbank Influence on local and global climate
Erosion Sustaining the livelihood of coastal communities
Biophysical support to other Heritage values
coastal ecosystems Artistic inspiration
Maintenance of biodiversity and Educational and scientific information
genetic resources Recreation and tourism
Salinity buffer

HUTAN RIPARIAN

Zona riparian yang terpelihara baik di kanan-kiri sungai yang memasok air ke Danau Erie, Kanada.

Mintakat riparian atau wilayah riparian adalah zona peralihan antara sungai dengan daratan. Wilayah ini memiliki karakter yang khas, karena perpaduan lingkungan perairan dan daratan. Salah satunya, komunitas tumbuhan pada mintakat ini dicirikan oleh tetumbuhan yang beradaptasi dengan perairan, yakni jenis-jenis tumbuhan hidrofilik; yang dikenal sebagai vegetasi riparian. Perkataan riparian berasal dari bahasa Latin ripa, yang berarti “tepian sungai”.

Mintakat riparian bersifat penting dalam ekologi, pengelolaan lingkungan dan rekayasa sipil, terutama karena peranannya dalam konservasi tanah, keanekaragaman hayati yang dikandungnya, serta pengaruhnya terhadap ekosistem perairan. Bentuk fisik zona ini bisa bermacam-macam, di antaranya berupa hutan riparian, paya-paya, aneka bentuk lahan basah, atau pun tak bervegetasi. Istilah-istilah teknis seperti sempadan sungai dan kakisu (kanan-kiri sungai) mengacu kepada mintakat ini, meski pengertiannya tak sepenuhnya setangkup.

Daftar isi

[sembunyikan]

//

[sunting] Karakteristik dan fungsi

Skema zona riparian di Everglades, Florida.

Wilayah riparian bisa berbentuk alami atau terbangun untuk keperluan stabilisasi tanah atau rehabilitasi lahan. Mintakat ini merupakan biofilter alami yang penting, yang melindungi lingkungan akuatik dari sedimentasi yang berlebihan, limpasan air permukaan yang terpolusi, dan erosi tanah. Zona ini juga menyediakan perlindungan dan makanan untuk banyak jenis hewan akuatis, dan juga naungan yang penting dalam pengaturan temperatur perairan. Banyak karakter yang menunjukkan kapasitas wilayah ini sebagai mintakat penyangga (bufferzone) bagi kawasan di sekitarnya.

Penelitian menunjukkan bahwa zona ini berperan penting dalam menjaga kualitas air yang masuk ke sungai, baik dari limpasan air permukaan (surface runoff) maupun dari aliran air bawah tanah. Terutama penting untuk mengurangi senyawa nitrat (denitrifikasi) yang berasal dari pupuk yang ditebarkan di lahan-lahan pertanian, yang terbawa oleh aliran air dan berpotensi merusak ekosistem serta mengganggu kesehatan. Fungsi ini diperlihatkan dengan baik oleh mintakat yang berupa lahan basah di tepian sungai.

Mintakat riparian juga berfungsi meredam energi aliran air. Kelok liku aliran sungai (meander), dikombinasikan dengan vegetasi dan perakaran tumbuhan di mintakat ini, mampu meredam energi pukulan arus sungai, sehingga mengurangi erosi dan kerusakan badan sungai akibat banjir. Pada peristiwa banjir besar, mintakat riparian mencegah kehancuran yang lebih luas di bagian luar sungai, meskipun mintakat itu sendiri mungkin menjadi porak-poranda. Sementara itu pada bagian lain mintakat, sedimen sungai diperangkap dan diendapkan, sehingga menurunkan kadar padatan tersuspensi dalam air, mengurangi kekeruhan, menggantikan tanah yang hanyut, serta membentuk tepian yang baru.

Wilayah kanan-kiri sungai merupakan habitat margasatwa dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang seringkali berfungsi sebagai koridor satwa; yakni daerah yang dijadikan sebagai tempat perlintasan aneka jenis fauna akuatik maupun terestrial, yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Fungsi ini terlihat nyata terutama di wilayah perkotaan, di mana zona-zona riparian yang terpelihara –jika masih ada– biasa ditinggali atau disinggahi oleh pelbagai jenis reptil, amfibia, dan burung. Situasi ini menghubungkan populasi-populasi hewan di hilir dengan sebelah hulu sungai, sehingga kelompok-kelompok itu saling terhubung satu sama lain.

Vegetasi di kanan-kiri sungai memiliki karakter yang khas, yang sering memperlihatkan pengaruh dan interaksi dengan lingkungan perairan yang dinamis. Banyak dari jenis tumbuhan di wilayah riparian ini yang memencar dengan mengandalkan aliran air atau pergerakan ikan. Dari segi ekologi, fenomena ini penting sebagai salah satu mekanisme aliran energi ke dalam ekosistem perairan, melalui jatuhan ranting, daun dan terutama buah tetumbuhan ke air, yang akan menjadi sumber makanan bagi hewan-hewan akuatik.[1]

Dari sudut sosial, kawasan riparian banyak menyumbang bagi nilai-nilai kehidupan masyarakat di sekitarnya. Wilayah tepian sungai yang bervegetasi baik sering dijadikan taman tempat bersantai dan berinteraksi bagi penduduk, terutama di perkotaan. Taman dan hutan kota semacam ini biasa dijadikan tempat rekreasi harian, bersepeda, memancing, berbiduk, dan lain-lain. Pemandangan sungai yang indah, juga di waktu malam di daerah perkotaan, menjadikan banyak restoran dibangun di tepian air.

[sunting] Keanekaragaman vegetasi riparian

Hutan riparian

Hutan riparian di Jerman.

Di tepian Sungai Litroux, Prancis.

Sepanjang kanan-kiri sungai di daerah tropis, mulai dari wilayah hulu hingga ke muaranya di laut, tumbuh berbagai tipe vegetasi, yang pada gilirannya menyediakan habitat bagi aneka komunitas margasatwa. Variasi-variasi dalam zona riparian ini pada dasarnya ditentukan oleh seberapa besar aliran sungai mempengaruhi kondisi lingkungan di kanan-kirinya; yang selanjutnya ditentukan oleh topografi lapangan dan sifat-sifat aliran sungai yang bersangkutan.

Di bagian hulu sungai di daerah pegunungan, aliran sungai berkelak-kelok melalui jurang kecil maupun besar. Arus sungai yang deras, fluktuasi permukaan air yang tinggi antara saat-saat hujan dengan tidak hujan, dan curamnya tebing sungai, menjadikan zona riparian di daerah pegunungan ini tidak begitu nyata dan sempit. Wilayah riparian di sini kebanyakan ditumbuhi semak-belukar dan perdu, dengan beberapa pohon besar yang tidak selalu sama jenisnya. Semak-semak seperti kecubung gunung (Brugmansia spp.), sisirihan (Piper aduncum) dan beberapa yang lain sering ditemukan di sini. Juga pohon-pohon seperti kepayang (Pangium edule), benda (Artocarpus elasticus) dan kedawung (Parkia roxburghii).

Tiba di daerah yang lebih datar, aliran sungai mulai melambat dan melebar, menampung lebih banyak arus dari anak-anak sungai, dan fluktuasi debit sungai menyusut. Meskipun sungai-sungai di wilayah ini umumnya bertebing, namun kebanyakan tidak lagi berupa jurang yang dalam seperti halnya di pegunungan. Zona riparian kebanyakan ditumbuhi pepohonan, yang bisa jadi tajuknya bertaut satu sama lain membentuk kanopi (atap tajuk) di atas sungai yang belum seberapa lebar. Jenis-jenis pohon dari keluarga beringin seperti loa (Ficus racemosa), sengkuang (Pometia pinnata), dan keluarga jambu-jambuan seperti halnya jambu mawar (Syzygium jambos) sering didapati di bagian ini.

Mendekat ketinggian laut, di daerah dataran rendah yang luas, aliran sungai bisa menjadi amat lebar, mengalir lambat dan nyaris tidak berubah tinggi airnya sepanjang tahun. Akan tetapi di puncak musim hujan, banjir besar selalu terjadi dan limpasannya dapat menutupi wilayah yang luas di kanan-kiri sungai. Wilayah riparian di bagian ini tidak selalu berupa hutan; bisa jadi bergabung atau berseling dengan rawa atau paya-paya yang luas. Namun karena tanah endapan yang subur dan selalu diperkaya setiap tahun, zona riparian di daerah ini biasa memiliki pohon-pohon besar dan tinggi, yang dari udara relatif mudah dibedakan dari hutan-hutan di sekitarnya yang lebih rendah kanopinya[2]. Komunitas khas ini biasa dikenal sebagai hutan riparian. Beberapa jenis dipterokarpa seperti Dipterocarpus apterus, D. oblongifolius, serta jenis-jenis penghasil tengkawang seperti Shorea macrophylla, S. seminis dan S. splendida biasa dijumpai di sini. Juga kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) dan merbau (Intsia palembanica) yang berharga mahal.[3]

Di bagian yang kerap tergenang atau drainasenya buruk, hutan riparian ditumbuhi jenis-jenis yang lebih beradaptasi dengan lingkungan perairan. Contohnya adalah bintaro (Cerbera spp.), butun darat (Barringtonia racemosa), pidada (Sonneratia caseolaris), rengas (Gluta renghas), terentang (Campnosperma auriculata) dan lain-lain.[2]

Suatu bentuk lain dari vegetasi riparian di daerah kering adalah apa yang dinamai sebagai hutan galeri. Hutan ini merupakan wilayah-wilayah sempit yang selalu hijau, yang tumbuh di sepanjang aliran sungai di antara hamparan hutan musim, savana atau padang rumput di wilayah beriklim kering seperti di Nusa Tenggara[4]. Sungai-sungai itu sendiri mungkin mengering pada sebagian besar waktu sepanjang tahun (di Jawa Timur sungai semacam ini disebut curah), namun kelembaban yang tersimpan dalam tanahnya masih mampu mempertahankan kehijauan vegetasi. Hutan galeri terbentuk di dataran rendah hingga jurang-jurang di daerah yang berbukit, sampai pada ketinggian sekitar 2.000 m dpl.[5] Di daerah pesisir yang bersavana, hutan galeri ini sering digantikan oleh hutan rawa payau yang didominasi gebang (Corypha utan)[6]

[sunting] Ancaman kelestarian

Wilayah riparian yang penuh hunian di tepi Sungai Elbe, Dresden.

Karena sungai banyak memberikan manfaat dan kegunaan bagi manusia, tak ayal wilayah riparian pun mengalami akibatnya. Banyak aktivitas manusia, baik yang berkait langsung dengan pemanfaatan zona riparian, maupun yang tidak langsung seperti kegiatan pemanfaatan sungai, yang bisa mengancam kelestarian mintakat ini.

Di hutan-hutan lebat yang dibalak di wilayah pedalaman, sungai sering digunakan sebagai sarana pengangkutan kayu. Kegiatan menyarad dan mengangkut kayu ke sungai hampir selalu dilakukan dengan merusak, berat ataupun ringan, zona riparian ini. Demikian pula pembuatan jalan-jalan angkutan dalam hutan, mau tidak mau akan melintasi banyak sungai dan zona-zona riparian di sekitarnya. Belum lagi apabila pohon yang akan dibalak memang tumbuh pada zona-zona riparian ini. Diperkirakan, hutan riparian yang subur dapat memiliki potensi kayu komersial hingga 90 m³ perhektar[2].

Dalam pada itu pemukiman-pemukiman di wilayah dengan fasilitas terbatas, seperti di desa-desa pedalaman yang terpencil serta kamp-kamp pekerja kehutanan dan pertambangan, sering dibangun mendekati sungai sebagai sumber air dan sarana perhubungan. Dan itu artinya memanfaatkan zona-zona riparian secara intensif. Pemukiman-pemukiman dan perladangan penduduk asli di Kalimantan, misalnya, terletak di sepanjang –dan tidak pernah jauh dari– aliran-aliran sungai yang masih dapat dilayari dengan biduk ketinting.

Tidak jauh berbeda alasannya, zona-zona riparian sungai-sungai yang melintasi kota –khususnya di Indonesia– hampir selalu dipadati oleh pemukiman penduduk. Terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Banjarmasin, Pontianak dan lain-lain, wilayah riparian ini biasa padat oleh rumah-rumah warga setempat. Jika tidak, kawasan tepian sungai ini dijadikan pasar atau daerah pergudangan, terutama yang terletak tidak jauh dari pelabuhan. Semua aktivitas itu, baik di hutan, di pedalaman, maupun di perkotaan, jelas-jelas merusak fungsi ataupun fisik mintakat riparian.

[sunting] Konservasi

Untuk melindungi keberadaan dan keberlangsungan fungsi wilayah riparian, tiap-tiap negara mengeluarkan peraturan yang berbeda-beda. Indonesia, misalnya, memiliki peraturan untuk memelihara dan mempertahankan apa yang disebut sebagai sempadan sungai. Peraturan ini pada dasarnya menganjurkan pengelola wilayah, umpamanya pemegang HPH, untuk memelihara kawasan dengan lebar tertentu, sejajar dan di sepanjang tepian kanan-kiri sungai. Lebar sempadan ini bergantung kepada ukuran sungai itu sendiri, kondisi tepiannya (apakah masih alami atau buatan), serta letaknya (apakah di hutan, kawasan perkebunan atau di perkotaan).

Untuk skala yang lebih luas dan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati yang lebih tinggi, perlindungan zona riparian yang penting biasa dicakup dalam rencana konservasi tingkat nasional atau regional; misalnya dicantumkan dalam Biodiversity Action Plan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Mintakat_riparian

Pinus (Pinus merkusii) adalah pohon yang memerlukan air cukup banyak sekitar 1500 mm air diuapkan oleh transpirasi pinus. banyak yang menganggap hal tersebut dapat mengakibatkan kekeringan di daerah arilan sungai.

contoh nyata pinus yang di tanam di daerah garut menumbulkan komplen dari masyarakat karena air tersedia dari mata air berkurang. benarkan pinus penyebabnya?

Setelah diilakukan penelitian mengenai hal tersebut, ternyata tidak benar pernyataan bahwa pinus mengakibatkan kekurangan air tersedia bagi masyarakat sekitar hutan. faktanya walau pun pinus membutuhkan air yang cukup tinggi namun dengan adanya akar pinus mengakibatkan tegangan di sekitar akar pinus tinggi, sehingga mengakibarkan air yang diserap oleh tanah menjadi cukup besar. hal tersebut dapat berkolerasi positif (debit air pada daerah aliran sungani menjadi stabil)terhadap Daerah Aliran Sungai hal ini karena air hujan dapat terinfiltrasi dalam tanah cukup banyak sehingga aliran air permukaan dapat terhambat.

hal di atas hanya dapat terjadi apabila curah hujan di wilayah tersebut lebih dari 200(asumsi opavorasi 500) mm, karena jika kurang dari itu maka akan terjadi defisit air di daerah tersebut.

Fakta lainnya adalah ketika banyak yang menganggap bahwa tegakan hutan pinus di daerah danau toba menyebabkan tinggi permukaan air berkurang/surut ternyata salah. Setelah hutan pinus di tebang habis mengakibatkan danau taba surut sangat drastis pada waktu-waktu tertentu. balakangan diketahui bahwa opini pinus menyebabkan danau surut hanyalah isu yang di sebarkan oleh pihak yang tidak dipertanggung jawab untuk mengambil kayu pinus untuk bahan baku kertas.